SOLID GOLD |

Mekanisme Sensor Perfilman Indonesia

 

broken image

SOLID GOLD MAKASSAR - Lembaga Sensor Film atau LSF memang sangat jarang disorot oleh pemberitaan. Padahal lembaga yang sudah berdiri sejak tahun 1916 ini memegang peranan penting dalam perkembangan perfilman Indonesia.

Meski sudah berdiri lebih dari satu abad di Indonesia, banyak masyarakat awam yang tidak mengetahui dan mengenal cara kerja LSF yang sebenarnya. Sebagian orang bahkan hanya mengenal LSF melalui penampakan yang ada sebelum sebuah film diputar di dalam bioskop.

Seperti yang tercantum pada Undang Undang Nomor 33 Tahun 2009, film sebagai sebuah karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat . Selain itu, film juga memegang peranan penting dalam pembangunan karakter bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, Lembaga Sensor Film diciptakan demi mengurangi dampak negatif dari budaya yang dapat diserap oleh masyarakat melalui sebuah film.

Pada kesempatan tersebut, beliau memberikan beberapa penjelasan mulai dari mekanisme kerja LSF hingga pembatasan konten apa saja yang harus diterapkan sebelum sebuah film layak tayang di bioskop atau televisi.

 

BACA JUGA : Visi Dan Misi Solidgold Berjangka

“Jadi gini, sebetulnya LSF itu ketika menyensor pada hasil akhirnya diklasifikasikan ke Semua Umur', 13 Tahun Ke Atas, 17 Tahun Ke Atas, dan 21 Tahun Ke Atas. Klasifikasi itu tentu dengan mempertimbangkan penontonnya. Terutama yang perlu dicermati pada masa-masa 'Semua Umur dan 13 Ke Atas yang merupakan masa-masa perkembangan yang memiliki kecenderungan meniru sesuatu itu dengan tinggi. Oleh karena itu film disensor diklasifikasikan dengan peruntukannya, film ini buat umur berapa sih? Kalau yang punya film itu ingin untuk kategori Semua Umur maka LSF menyensornya kalau ada adegan-adegan atau dialog-dialog dan suara-suara yang tidak pas pasti direvisi untuk umur itu,” papar Yani.

LSF pada dasarnya akan memberikan opsi kepada pemilik film jika film yang mereka ajukan tidak lulus sensor. Biasanya jika sebuah film untuk kategori Semua Umur tidak lulus sensor, maka LSF menawarkan untuk merevisi adegan-adegan atau dialog-dialog yang seharusnya dihilangkan karena tidak pantas untuk dikonsumsi oleh kategori Semua Umur. Apabila pemilik film tetap menginginkan adegan-adegan atau dialog-dialog tersebut tetap ada di dalam filmnya, maka LSF akan menawarkan opsi lain yakni menggantinya ke kategori usia di atasnya, atau 13 Tahun Ke Atas. Begitu pun terjadi pada kategori-katogori lainnya.

Tak hanya bekerja dalam melakukan penyensoran film saja, LSF juga rupanya memiliki agenda untuk mengingatkan masyarakat agar menonton film sesuai dengan batas usia yang sudah ditentukan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap beberapa kasus kekerasan yang marak terjadi di Indonesia.

“Kami melihat banyak masyarakat yang tidak cukup cerdas atau cukup aktif dan kritis dalam memilih tontonan dan film. Ketika masyarakat tidak cukup kritis, dampaknya akan sangat terasa. Faktanya di lapangan banyak anak-anak yang menonton tidak sesuai klasifikasinya sehingga banyak perbuatan-perbuatan yang menyimpang baik terhadap kekerasan, membully, atau memperlakukan orangtua dan guru dengan cara tidak etis dan meninggalkan akhlakuk karimah. Itu indikasinya karena menonton film,” sambung Pak Yani.

LSF pun sedang menggalakkan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri yang merupakan ajakan agar semua penggiat film dari mulai produser hingga sutradara melakukan sensor terlebih dahulu film seperti apa dan untuk umur berapa yang akan mereka ciptakan. Sementara untuk masyarakat sendiri, Pak Yani berharap agar masyrakat tidak mengabaikan klasifikasi umur yang telah diterapkan oleh LSF terhadap sebuah film.

LSF terakhir kali terseret saat film Naura dan Genk Juara mucul pada November tahun lalu. Film tersebut menuai kontroversi karena dianggap menistakan agama. Perbedaan persepsi dalam sebuah film memang sering kali terjadi. Apalagi Indonesia memiliki ragam budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

“Kalau kasus Naura, itu sebetulnya film sudah bagus untuk anak-anak. Dipersoalkan ketika penjahat-penjahatnya dengan latah mengucapkan ‘Allahu Akbar’ atau berdoa karena kepepet. Ada pihak-pihak yang menganggap bahwa itu enggak pas, sensitif menurut agama. LSF juga memahami karena Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Islam, kemudian penjahat-penjahatnya latah Islam itu bisa terjadi lah, walaupun kita tidak bisa membenarkan itu. Sama dengan film-film dari negara-negara Nasrani, kadang kalau dalam keadaan terpepet dia sebut Yesusnya, angkat salibnya, itu kita luluskan karena memang bisa terjadi,” kenangnya.

 

ACA JUGA : Alasan Anda memilih Kami Solidgold

Namun di balik itu semua, LSF tetap membuka diri jika memang ada pihak yang tidak setuju dengan sebuah film yang telah mereka sensor. LSF membuka dialog terbuka untuk menemukan solusi yang tepat tentang bagaimana menyikapi permasalahan yang ada.

Tugas LSF dalam melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film tentunya bukan tugas yang mudah. Oleh karena itu, Pak Yani mengajak semua mengajak produser, sutradara, atau bahkan masyarakat lebih peduli dengan perfilman nasional yang kini iklimnya sudah semakin membaik.

“Saya ingin persepsi terhadap film itu bisa dibangun dengan lebih baik. Bagaimana seharusnya membuat film, bagaimana seharusnya menyensor film dan bagaimana seharusnya melihat film. Dan itu seharusnya sama. Kalau itu pemahaman dan persepsinya sama maka masing-masing akan aman dan pengaruh negatif film itu bisa dieliminasi,” pungkasnya.