PT SOLID GOLD BERJANGKA |

Warisan Chairil Anwar

broken image

Dari berbagai literatur tentang Chairil Anwar, gelombang gelisah memenuhi benaknya selalu. Sebagai seorang penyair, ketika menulis sajaklah ia menemukan kebahagiaannya. Ibarat para penderita gangguan kejiwaan, dalam masa-masa obat penenang bekerjalah ia sehat. Maka Chairil selalu berkeinginan menulis sajak. Apapun akan dilakukannya, bahkan dilanggarnya demi sajak.

Kegelisahannya dicairkannya dengan simbolis lewat bahasa, berhasil menggemilangkan kegeniusannya mengolah kata. Seorang ekstrovet yang luar biasa, Chairil kelihatan tak bisa menyimpan lama sakit dalam hatinya. Ia renungi mendalam apa yang dirasakannya untuk mencari jalan keluarnya, agar masalah yang dihadapinya selesai.
Dari kata kaku, yang bermakna terdiam dalam sajak-sajaknya: berkakuan kapal-kapal di pelabuhan, udara bertuba, tumpat pedat, tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur, lurus kaku. Dari pilihan diksi ini tercermin, Chairil selalu merenung sampai ke dasar pikirannya. Sampai tak lagi bisa bergerak dan berpikir. Diam membatu untuk kembali bergairah, seperti laut yang semula tenang lalu datang angin yang menggelorakan ombak; waktu inilah Chairil menumpah perasaan dan pikirannya.
Ia menjadi fenomenal sebab keeksentrikannya. Semakin besar karena selalu dibicarakan. Seperti tak akan pernah terkelupas di panas atau luluh karena hujan. Chairil bersifat penuh maaf, penggertak nomor wahid. Sebagai watak asli orang Medan, kalau sampai waktuku/ ku mau tak seorang kan merayu. Seperti orang yang sudah mengalami patah arang. Sudah muak perasaannya. Tapi bagi orang Medan, ini bisa juga sebagai gertak sambal saja. Dalam hati bisa memaafkan, alias tidak pendendam.
Chairil dipastikan tak gampang jika diminta menulis novel yang berpanjang-panjang. Sebab pilihan kalimatnya selalu pendek, padat, tak beranak pinak sebagai kekhasannya. Mengucap salam pada aturan lama, walau tidak secara total. Dalam sajak-sajak awalnya ia masih cukup terikat dengan pantun.
Aku yang Temperamental
Aku hadir temperamental. Marah yang dipendam hingga masak. Orang Medan biasa mengatakan hilang sabarnya dengan kalimat, kalau sampai waktuku. Ini berarti sabarku telah hilang, tetapi kenyataannya masih dapat menahan diri. Aku ingin hidup seribu tahun lagi, juga kebiasaan orang Medan dalam mempertahankan pendapatnya. Seribu kali kau bersujud di kakiku, tak akan percaya aku sama kau. Chairil mengatakan, aku ingin hidup seribu tahun lagi, simbol keinginan eksis dan diingat sepanjang hayat. Tidak menyerah pada keadaan, bahkan melawan tepatnya.
Chairil melawan ayahnya, Toeloes yang sedari kecil sangat memanjakannya. Selalu membelanya jika Chairil berkelahi dengan teman sepermainannya. Melawan karena berpihak pada ibunya, Saleha setelah perceraian. Dalam sajak Perhitungan ia sebutkan antara ia dan ayahnya sekilap pandangan serupa keleweng bergeseran. Sesudah dewasa Chairil juga melawan keadaan kepapaannya yang getir. Mengambil buku sembunyi-sembunyi di toko buku karena kebutuhan rohaninya. Bersikap kooperatif ketika lapar mendera perutnya. Spontan menumpah marahnya jika tidak cocok di hatinya.
Ironis sekaligus mendinginkan kalau Chairil salah atau kalah. Ia tak segan mengakui kesalahan sekaligus kebodohannya. Sifat yang untuk zaman ini tidak didapat lagi dalam diri banyak manusia Indonesia. Apalagi para pemimpinnya. Begitu gencar kita saksikan para terduga korupsi melakukan pembelaan. Jauh dari jiwa besar Chairil, anak muda ikon sajak Indonesia ini.
"Alah, Ril mengapa tak kau akui saja kalau sajak yang disebut Jassin itu memang sajak plagiat. Kau kan sudah terkenal dengan sajak-sajakmu yang lain?" Chairil tersenyum dengan pujian ironi yang dilontarkan Mochtar Lubis. Chairil memang tegas mau melakukan apa saja demi sebuah sajak, termasuk "mencuri" karya orang lain.
Saat ini siapa orang Indonesia yang bisa melupakan Chairil? Dalam keseharian kita selalu merasa bersama ketika melihat, mendengar, dan membaca sajak. 26 Juli, tanggal kelahiran Chairil ditetapkan sebagai Hari Puisi Indonesia. Chairil lahir untuk menjadi penyair terbesar Indonesia sepanjang abad, sepanjang masa. Kenang, kenanglah kami yang tinggal hanya tulang-tulang diliputi debu.
Chairil menulis 70-an sajak selama 1942-1949, sekitar tujuh tahun sesudah pindah ke Jakarta. Para kritikus, baik dari dalam maupun luar negeri gencar mencecar sajak-sajak Chairil. Namun sampai kini telaah tentang Chairil belum tuntas. Seperti pertanyaan yang selalu dilontarkan budayawan Damiri Mahmud, di mana rumah Chairil Anwar di Medan?
Para kritikus juga menyimpan cacat. Ketika mengkritisi sajak-sajak Chairil yang berjiwa dan ber-style Bahasa Melayu Medan yang lugas dan egaliter. Ini yang dikoreksi habis oleh Damiri Mahmud. Namun, sampai kini belum ada telaah resmi terhadap apa yang dikoreksi Damiri.
Mendeskripsikan Chairil
Chairil telah melakukan revolusi kesusastraan Indonesia atas genre persajakan. Puncaknya pada 1943, yang "merata-ratakan" kata-kata. Tak perlu penyair bersimpuh pada kata-kata feodalis, kapitalis. DNA kepenyairan Chairil Bahasa Melayu Medan, sesuai dengan karakter anak Medan yang egaliter. Bukankah ketika pertama-tama mengenalkan sajaknya, teman-temannya sesama penyair di Jakarta mengatakan Chairil keterlaluan? Tidak beretika, bahkan sampai mengatakan Chairil merusak bahasa Indonesia!
Kelupaan banyak sarjana dan penyair waktu itu, termasuk para kritikus sesudahnya, bahwa Bahasa Indonesia berinduk ke Bahasa Melayu. Chairil tidak sedikit pun merusak Bahasa Indonesia. Demikian adanya di Medan orang awam bercakap-cakap. Tak ada yang disembunyikan Chairil. Keberanian Chairil memasukkan kata-kata pasaran (harian) ke dalam sajaknya, dengan mengenyahkan kata-kata klise. Ayo, Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji! Tak perlu Chairil menunduk-nunduk terlebih dahulu untuk Sang Proklamator. Tercatat ada 350 diksi dan idiom Melayu dalam keseluruhan sajak-sajak Chairil.
Semangat Chairil melepaskan diri dari budaya lama yang menenggelamkan Bangsa Indonesia, setelah 350 tahun diperbudak Belanda, terlihat dari gaya hidup dan gaya Chairil berekspresi. Bukankah seandainya Chairil berwatak feodal, mudah saja ia memperoleh kemewahan dengan mendompleng kepada ayahnya yang seorang Pamong Praja --yang bahkan sesudah Kemerdekaan menjadi Bupati di Inderagiri, Riau?
Chairil memilih hambus dari rumah gedong berhalaman lebar tempat tinggal ayahnya di Jalan Gajah Mada, Medan. Di Jakarta ia melahirkan sajak-sajak terbaiknya dengan karakter dan Bahasa Melayu Medan yang kaya. Chairil menyadari menemukan keindahan ekspresi dalam bahasa ibunya. Sehingga hampir tak pernah memasukkan satu kata, idiom, atau majas dari luar Bahasa Melayu.
Memilih kata tuan untuk seorang pangeran asal Jawa, Pangeran Diponegoro, satu lompatan emosi, ketegasan yang tak bertara. Tuan hidup kembali. Berani sekaligus elegan. Goenawan Mohamad tidak berani mendiskripsikan Pangeran Diponegoro ke dalam Bahasa Melayu dalam episode Babat Tanah Jawa. Padahal ia sudah mendeskripsikan episode itu ke dalam Bahasa Indonesia. Hamba tidak tahu, Gusti, tulisnya.
Sekali Berarti Sudah itu Mati
Sekali berarti sudah itu mati. Ya, memang Chairil habis dilibas akibat dari keberaniannya. Pegadang dan perokok berat, sehingga paru-parunya rusak. Suka bersenang-senang dengan wanita. Chairil tak pernah berpikir hidupnya akan sampai tua, apalagi uzur. Mati muda sudah menjadi firasat baginya. Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin.

Andai dalam sastra tidak ditemui lagi kebenaran sebagi penyeimbang kehidupan, maka kita pun akan mati bersama sastra tersebut. Chairil telah berbuat untuk dirinya sekaligus bangsanya agar hidup berharga. Siswa-siswi, seniman, penyair menyajakkan karyanya di mana-mana. Para ahli sastra dan filolog mengkaji dan terus mengkaji Chairil. Seperti katanya, ingin menjadi Menteri Kebudayaan seandainya berumur panjang. Anak bangsa terus menziarahinya di Karet. Chairil mau hidup seribu tahun lagi. Bahkan lebih melampaui kata-kata emasnya. Secepuh keberanian Chairil, warisan untuk bangsanya.

BACA : SOLID GOLD