PT SOLID GOLD BERJANGKA |

‘Menangkap’ Rupa Si Kuku Ganjil

broken image

PT SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR - Badak Jawa bercula satu (Java rhinoceros/Rhinoceros sondaicus) di habitatnya di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) sampai 2017 tercatat berjumlah 67 ekor. Jumlah ini masih dianggap mengkhawatirkan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Sains, dan Budaya (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization/UNESCO) memasukkan badak Jawa dalam kategori terancam (critically endangered) pada daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Apalagi pada 2011 pihak IUCN menyatakan badak Jawa di Vietnam sudah punah. Kini hanya badak Jawa yang hidup di kawasan Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Banten, yang masih tersisa di dunia. Pemerintah Indonesia melalui Balai TNUK, yang bermitra dengan World Wildlife Foundation (WWF) Indonesia dan Yayasan Badak Indonesia (Yabi), terus memantau mamalia raksasa berkuku ganjil atau perissodactyla ini.

Catatan mengenai jumlah badak Jawa baru ada pada sekitar 1962, ketika WWF mulai beroperasi di Ujung Kulon. Saat itu jumlah badak Jawa hanya 20 ekor dengan cara penghitungan track record jejak kaki badak. Hampir beberapa dekade, jumlah badak ini tercatat 30-50 ekor. Tapi pada 2010 ada perubahan metode penghitungan melalui kamera jebak (camera/video trap) yang awalnya diperkenalkan oleh Mike Griffith dari WWF Indonesia pada 2008.

Balai TNUK mengakui, dengan jumlah terbatas di habitat seluas 40 ribu hektare di kawasan Semenanjung Ujung Kulon, badak Jawa sangat rawan terhadap ancaman kepunahan. Karena itu, sejak 2011, atas inisiasi dari WWF Indonesia, Balai TNUK menempatkan 100 unit camera/video trap yang tersebar di sejumlah titik di kawasan habitat badak itu.

“Kita ingin tahu populasi, karakter, dan sebaran populasi yang sebenarnya badak Jawa ini,” ungkap Kepala Balai TNUK Mamat Rahmat saat ditemui detikXpedition di kantornya, Labuan, Pandeglang, Banten, 30 Mei 2017.

Menurut Mamat, titik penempatan kamera dipilih secara acak. Yang jelas, titik tempat kamera dipasang merupakan wilayah yang memiliki potensi ada badaknya, seperti jalur lintasan, tempat berkubang, sungai, dan tempat makannya (feeding ground). Setiap bulan, kamera itu dicek untuk diambil memori atau diganti baterainya.

Isi memory card kamera yang telah diambil akan dianalisis, mana gambar badak atau hewan lainnya. Kadang dalam gambar terekam macan tutul, macan kumbang, dan monyet. ”Bahkan ada orang yang terekam juga. Para pemburu dan perambah hutan terekam juga,” Mamat menambahkan.

Semua temuan itu akan dipilah-pilah dan dimasukkan folder tersendiri. Begitu juga ketika menemukan gambar badak, juga akan dipilah mana badak jantan atau betina dalam folder terpisah. Badak jantan pun akan dipisah mana badak dewasa atau anak-anak. Semua gambar foto atau video yang didapat lalu dipasang dan dicocokkan dengan analisis metode album.

“Masing-masing dibandingkan, oh ini foto si Satria, lalu terekam lagi, oh ini Satria. Nah, kalau belum sama sekali, belum ada di album, berarti itu rekaman baru,” ujar Mamat.

Guna mengenali satu individu badak Jawa, dilakukan proses identifikasi terhadap gambar dengan menggunakan delapan parameter kunci morfologi badak itu sendiri, yakni bentuk dan ukuran cula, kerutan mata, kerutan wajah, lipatan leher, posisi dan bentuk telinga, cacat, luka, serta warna kulit.

Kelahiran empat badak Jawa pada akhir 2016 juga terekam camera/video trap, sehingga total populasi badak berjumlah 67 ekor. “Saya yakin 85 persen akurat, walau bias itu ada saja. Makanya bahasa kami minimal ada 67 individu badak atau lebih. Karena kemampuan 100 camera trap dengan luas 40 ribu hektare, belum banyak area yang ter-cover,” jelas Mamat.

Mamat mengakui di wilayah selatan Ujung Kulon, tempat dua badak Jawa yang diidentifikasi bernama si Robot dan si Rawing keluar melintasi pagar Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA), belum terpasang camera trap. Karena itu, ia meminta petugas TNUK bersama WWF Ujung Kulon Project melakukan survei tempat bakal camera trap dipasang, sekaligus mengecek keberadaan dua badak tersebut.

Di Blok Cisereh, kami menemukan sebuah kubangan badak berdiameter 2 meter. Di tempat itulah tim Spesies dan Habitat TNUK/WWF langsung yakin untuk menempatkan kamera. Camera trap yang digunakan jenis trophy cam dengan merek Bushnell model 19405. Kamera ini bisa mengambil foto dan video dengan menggunakan sensor gerak. Kamera akan bekerja secara otomatis saat ada obyek yang bergerak di depan kamera.

Kamera ini lalu dipasang di sebuah batang pohon setinggi 170 sentimeter dari permukaan tanah. Kamera itu dipasang dengan jarak 6 meter dari kubangan badak. “Jarak ideal 5-8 meter. Intensitas cahaya juga diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang bagus, juga sudut pandangnya,” ucap Iwan Podol, sapaan akrab Ridwan Setiawan.

Menurut Iwan, memang bukan hanya badak yang terekam camera trap. Selain hewan lindung lainnya, kadang para pencuri atau pemburu hewan langka terekam kamera. Bahkan lucunya, Iwan melanjutkan, oknum warga yang menjadi pemburu berbicara seperti meninggalkan pesan di depan kamera. “Ini kami berikan ke pihak Balai TNUK dan berwenang. Kan jadi gampang menangkapnya juga, ha-ha-ha…,” pungkas Iwan Podol.

baca juga : pt solid gold