PT SOLID BERJANGKA | Melawan Peruncingan Ideologi

broken image
PT SOLID BERJANGKA MAKASSAR - "Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! …Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme-agama" (Soekarno, 1 Juni 1945).

Kutipan tersebut merupakan pidato Bung Karno di depan Sidang BPUKI, 73 tahun lalu saat mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Sangat relevan dengan kondisi saat ini yang masih diwarnai gerakan radikal berlabel agama untuk mengganti Pancasila.
 
 
Radikalisme ideologi yang disebut Bung Karno sebagai peruncingan, bukan hal baru. Di masa lalu dilakukan melalui pemberontakan bersenjata, seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Madiun Affairs, dan upaya kudeta lainnya. Saat ini dilakukan melalui aksi teror dengan label agama yang berbaiat pada organisasi teroris internasional. Kasus terbaru, kerusuhan di Mako Brimob Jakarta, teror bom di Surabaya, dan penyerangan Kantor Polda Riau membuktikan peruncingan ideologi tersebut masih ada.

Di luar aksi teror, ada juga organisasi-organisasi kemasyarakatan yang terus berupaya mengintegrasikan Indonesia menjadi bagian dari khilafah. Maka, merujuk kondisi itu, kutipan Pidato Bung Karno tersebut sangat relevan dalam refleksi Hari Lahir Pancasila sekarang. 
 
 
 
Meski beragam upaya mengganti Pancasila selalu gagal, namun bukan karena Pancasila memiliki kesaktian laksana jimat pusaka. Terminologi kesaktian Pancasila justru berpotensi mendorong mistifikasi ideologi, dan menempatkannya ke dalam ruang tak terjamah kritik dan perubahan. Ideologi ketika menjadi dogma beku maka tinggal menunggu waktu ditinggal zaman. Saat ini, di tengah perkembangan dunia yang semakin merelatifkan ideologi, eksistensi Pancasila menjadi pertaruhan.

Situasi tersebut sebenarnya bukan hal baru. Daniel Bell dalam The End of Ideology menegaskan bahwa modernitas telah merelatifkan ideologi kecuali kapitalisme yang terus berkembang dan menjadi ideologi pemenang. Selepas Bell, muncul Francis Fukuyama dengan The End of History. Fukuyama berbicara tentang globalisasi yang memprediksikan perkembangan demokrasi liberalistik dan sistem kapitalisme yang disebut sebagai bentuk final pemerintahan, dan akhir dari sejarah pertarungan ideologi. 
 
BACA JUGA :Solidgold Berjangka

Runtuhnya komunisme memberikan pemahaman bahwa ideologi tersebut mengandung kelemahan dari awal, dan beku terhadap perubahan. Antara lain; sistem ekonomi terencana, konsep partai tunggal dan diktatur proletariat sebagai bentuk pemerintahan transisi dari masyarakat sosialis ke komunis; keyakinan runtuhnya kapitalisme, dan bubarnya negara sebagai tahapan akhir sejarah.

Dalam pelaksanaannya, selain utopis juga menyeleweng dari tujuan besar komunisme mewujudan masyarakat tanpa kelas yang berbasis pada kepemilikan kolektif alat produksi. Keinginan untuk menerapkan komunisme secara absolut, seperti di Chekoslovakia dan Kamboja tidak hanya membuat terbunuhnya demokrasi, tapi juga pembunuhan massal rakyatnya. 
 
Hal yang sama terjadi pada ideologi kanan yang berbasis agama. Misalnya Al-Qaeda, Taliban, dan Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) merupakan kelompok puritan yang menginginkan terbentuknya khilafah berlabelkan agama. Peruncingan itu terwujud dalam sikap anti kemajuan, melawan perubahan zaman, dan ingin memutar kehidupan kembali ke masa silam. Agama di tangan mereka terlihat bengis, penuh kebencian, bahkan dijadikan legitimasi aksi teror, bukan wajah penuh kasih dan kedamaian.

Sejarah memberi pelajaran, ideologi dapat bertahan jika mampu menjawab tantangan zaman. Komunisme dapat bertahan di China bahkan membawa kemajuan di bidang ekonomi karena mampu beradaptasi. Misalnya, mengakomodasi sistem ekonomi pasar secara cerdas dengan cara menempatkannya sebagai sistem yang bekerja. Kebijakan itu mampu membawa ekonomi China melaju pesat. Center for Economic and Business (CEBR) memprediksikan, China akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar dunia mengalahkan Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman pada 2032. 
 
 
Begitu pula Pancasila, akan dapat terus bertahan jika mampu menjawab tantangan zaman. Karena itu, harus diamalkan bukan sebagai panduan moral individu namun dasar negara. Artinya, pengamalan Pancasila sebagai dasar negara harus terwujud dalam pembuatan regulasi negara seperti undang-undang dan peraturan lainnya. Manifestasi lainnya tergambarkan dalam praktik dan kebiasaan bertindak para penyelenggara kekuasaan negara.

Dua hal itulah yang seharusnya menjadi aspek penilaian pengamalan Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila harus menjadi sinar terang bagi "budi pekertinya negara" yang terefleksikan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Selamat Hari Lahir Pancasila!